26 April, 2009

Edisi VIII

Mengenal Diri yang sebenar-benarnya Diri. Bagian ketiga (terakhir)

” Barang siapa mengenal dirinya niscaya ia mengenal akan Tuhannya,
kenal akan Tuhannya, maka binasalah jasadnya ”
(Hadits Qudsy)

Salam Rahmat dan Nikmat, saudaraku semuanya.

Edisi ini adalah merupakan kelanjutan dari Edisi ke 7 (Minggu, 28 Desember 2008) jalan ke 2, bagian ke 2, yaitu Pencetusan Api Marifatullah didalam kalimah ALLAH.

Kalimah Allah yang telah dicetuskan dalam Api Ma’rifatullah itu akan berhimpun pada Huruf yang tiga, yaitu huruf A, I, dan Huruf U. Ketiga huruf itulah yang menerangkan tentang ke-Esaan-Nya, yaitu Alif tunggal yang menyifat ke atas sehingga berbunyi A, Alif tunggal yang menyifat kebawah sehingga berbunyi I, Alif tunggal yang menyifat kedepan sehingga berbunyi U, Selanjutnya bagaimana jika Alif tunggal itu tidak sifat menyifat, apakah ada bunyinya, apakah ada suaranya dan apakah ada kalimahnya, jawabnya kami serahkan kepada anda sekalian, bagaimana kiranya anda menyikapinya.

Ketahuilah olehmu, bahwasannya diri yang sebenar-benarnya diri itu adalah Hayat, dan yang sebenar-benarnya Hayat itu ialah Ruh, Ruh itu ialah Nyawa, Nyawa itu ialah Sifat, sifat itu ialah Nur Muhammad dan Nur Muhammad itulah Zat (Zat Hayat).
Ketahui pula olehmu, bahwasannya Yang sebenar-benarnya Zat itu adalah Diri-Nya (Ujud-Nya) dan yang sebenar-benarnya Sifat itu adalah Rupa-Nya (Wajah-Nya) dan yang sebenar-benarnya Asma itu adalah Nama-Nya (Hati-Nya) dan yang sebenar-benarnya Af’al itu adalah Kelakuan-Nya (Fi’il-Nya).

Dengan demikian maka yang bernama Allah itu sebenarnya adalah Zat, Sifat, Asma dan Af’al, sebab pada Lafadz Allah itu adalah sebagai berikut :

Huruf Alif Allah itu masuk pada Zat, Huruf Lam Awal Allah itu masuk pada Sifat, Huruf Lam Akhir Allah itu masuk pada Asma dan Huruf Ha Allah itu masuk pada Af’al, maka itulah yang bernama ALLAH.

Jika memang diri itu Hayat (Ruh), hendaknya kita jangan berhenti pada Ruh saja, akan tetapi teruskan dan tembuskan pandanganmu itu kepada Hal dan Sifat Allah Ta’ala.

Sekiranya pandanganmu itu berhenti hanya kepada Nyawa saja, maka sesungguhnya kita salah dalam memahami pernyataan bahwa ” Diri itu Ruh ”.

Sebab tatkala Ia Nasab bagi sekalian tubuh Nyawa namanya, tatkala Ia keluar masuk Napas namanya, tatkala Ia berkehendak Hati namanya, tatkala Ia percaya akan sesuatu Iman namanya, dan tatkala Ia dapat memperbuat sesuatu Akal namanya.

Pohon Akal itu adalah Ilmu, inilah jalannya dan inilah yang disebut sebenar-benarnya diri. Jika demikian adanya maka dapat dikatakan bahwa sekarang ini kita hanya bertubuhkan Ruh semata-mata.

Mengapa demikian....?

” Kita ” disini sudah Fana lahir dan bathin kepada Ruh, disini jangan diartikan bahwa kita yang memfanakan diri, akan tetapi Fana itu dari Allah jua adanya, sedangkan kata ” Kita ” itu pun sudah lebur kedalam Fana itu sendiri.

Itu sebabnya jika ada orang yang mengatakan telah dapat dan mampu memfanakan diri akan tetapi Ia sendiri tidak tau dan tidak kenal akan dirinya, maka sesungguhnya itu omong kosong dan bohong besar saja, mengapa demikian...?

Sebab jika seseorang itu tidak tau atau kenal siapa dirinya yang sesungguhnya, maka mau di-Fana-kan kemana dirinya itu......?

Nyawa itu adalah Nur Muhammad, Nur Muhammad itu adalah Sifat, dan sifat itulah Hayat, akan tetapi ingat olehmu bahwasannya Ruh itu bukan Tuhan, tetapi tiada lain dari pada Tuhan, asalkan saja diteruskan kepada Zat dan Sifat.

Jika ini dapat dipahami, maka jangan kamu cari lagi akan Ia, karna bila dicari lagi bukannya semakin dekat akan tetapi malah semakin jauh jadinya.

Siapa saja yang telah sampai pada Maqom ini, pastilah Ia tidak akan mau mengatakan kata-kata Syareat, Tarekat, Hakekat, Makrifat, dan...

Ahli Syareat tidak bersyareat lagi, ahli Tarekat tidak bertarekat lagi, ahli Hakekat tidak berhakekat lagi, ahli Makrifat...tidak bermakrifat lagi...silahkan direnungkan.

Seseorang yang sampai kepada Tuhan, Ia tidak tahu lagi akan dirinya, dan tidak tahu lagi siapa Tuhannya. Emas, Pasir , Syurga, Neraka... sama saja.

Ia lebih senang Diam. Karena diam itu adalah kedudukan Tuhan yang maha Agung dan maha Mulia serta maha Tinggi.

Sebagai tambahan agar kita benar-benar mengenal akan diri yang sebenar-benarnya diri, maka ketahuilah olehmu :

Rosulullah Saw bersabda:

” Aku Adalah Bapak dari segala Ruh sedangkan Adam itu adalah Bapak dari sekalian Batang Tubuh ”.
Batang Tubuh manusia itu dijadikan oleh Allah Swt dari pada Tanah.

” Aku jadikan Insan (Adam) itu dari pada Tanah ”.
( Al-Qur’an)
Tanah itu dari pada Air, Air itu dijadikan dari pada Nur Muhammad. Dengan demikian maka nyatalah bahwasannya Batang Tubuh dan Ruh kita ini jadi dari pada Nur Muhammad, maka Muhammad Jua Namanya, tiada yang lain.

Sesungguhnya tubuh kita yang kasar ini tidak akan pernah dan tidak akan dapat mengadakan pengenalan kepada Allah melainkan dengan Nur Muhammad jua. Itulah sebabnya maka dinamakan Pohon Bustah artinya yang hampir pada ujudnya.

Adapun ujud itu, adalah ujud Allah ta’ala jua adanya, sekali-kali jangan ada ujud yang lain dari pada ujud Allah ta’ala, itulah yang sebenar-benarnya diri, begitu pula dengan kelakuan, jangan ada yang lain, karena tidak ada kelakuan yang lain selain kelakuan Allah ta’ala.

Sebab kalimah ” Faqad Arafah ” itu tiada akan menerima salah satu, melainkan suci zahir dan bathin adanya.

Zat artinya ujud Allah semata-mata, itulah yang sebenarnya, Melihat itu Basyar Allah, berkata-kata itu Kalam Allah dan seterusnya. Seandainya ada yang lain dari diri-Nya maka seluruh pengenalanmu itu akan menjadi ” Batal ”.

Allah Swt bersabda :

” Sesungguhnya Aku berada didalam sangka-sangka Hamba-Ku ”

Adapun yang bernama Rahasia (Sirr) itu, ialah Rahasia (Sirr) Allah ta’ala jua adanya. Inilah kesudahan Ilmu, artinya tiada lagi yang akan disebut didalam kitab manapun jua. Kita ini pun bertubuhkan Muhammad zahir dan bathin, artinya bertubuhkan Ruh namanya, sehingga tiada akan kita kenang-kenang lagi hati dan tubuh kita, hanya semata-mata bertubuhkan bathin saja, maksudnya Muhammad jualah yang menjadi tubuh kita ini pada hakekatnya .

Allah Swt berdiri diatas Hukum dan Muhammad itulah yang menjalankan Hukum, untuk itu maka berlakulah Hukum itu sebagaimana adanya.

Sebagian Ulama mengatakan :

Antara dirinya dan tuhannya sedang asyik pandang memandang dengan Nyawa dan tiada berkesudahan, Nyawapun demikian juga dan tiada berkeputusan dan tiada berkedudukan lagi, pandang dan pujinya sedikitpun tiada lupa dan putus Tuhan kepada Hambanya, demikian sebaliknya Nyawa sedikitpun tidak akan lupa dan putus pandangannya kepada Tuhan.

Apa saja yang dipandang oleh diri itu sejauh mata memandang hanya yang dilihat dan didengarnya tiada lain, yang berlaku dikanan maupun dikiri, keatas dan kebawah, zahir dan bathin yang dirasakannya hanya puji bagi puji kepada Allah seluruh alam semesta ini, inilah yang pernah terlontar dan terucap oleh ulama yang muhaqqiqin, bahwa :

Seluruh apa yang berlaku pada pandanganmu itu adalah Tauladan, puji atau zikrullah yang berlaku bagi seluruh semesta alam ini, karena sesungguhnya dirinya itu mengandung kalimah atau ber-rahasia kepada Allah.

Inilah Ilmu yang dinamakan Laut Ujudullah yang amat luas dan dalam yang tidak dapat dicapai oleh akal siapapun, dan tidak akan tersurat lagi oleh tulisan dan tiada akan pernah terucap lagi dengan kalam.

Bila Harfin Wala Sautin
( Tiada huruf tiada suara )

Laya’ rifu naka Illallah
( Tiada yang mengenal Allah melainkan Allah jua adanya)


Jadi yang perlu kita camkan baik-baik adalah bahwa, Pengenalan diri itu yaitu yang tidak dihakekatkan dan tidak pula dima’rifatkan lagi, akan tetapi Ia hanya berlaku dengan sendirinya.

Juga jangan kita berpandangan bahwa Kita (manusia atau jasad yang baharu ) ini yang mengenal, akan tetapi, yang mengenal itu ialah yang hidup dan tiada akan pernah mati.

” Aku kenal akan Tuhanku dengan pengenalan Tuhanku jua ”
Jika demikian adanya maka janganlah dicari lagi, karna Allah itu sendiri sudah Laitsya Kamitslihi Syaiun pada dirimu, sudah berbarengan siang dan malam..... !

Tiada ulasan:

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails